Halaman

Jumat, 10 Mei 2013

FILSAFAT RASIONALISME, EMPIRISME DAN KRITISISME



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagipengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
2.      Tujuan
a.        Untuk melengkapi tugas mata kuliah Pengantar Filsafat
b.       Untuk memahami lebih dalam lagi akan arti filsafat dan sejarah perkembangannya
c.        Sebagai bahan diskusi
.
3.      Metode Penulisan
Kali ini penulis menggunakan metode kepustakaan. Cara yang digunakan pada penelitian ini adalah Studi Pustaka. Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini.

4.      Rumusan Masalah
a.        Menjelaskan pengertian Rasionalisme dan tokohnya
b.       Menjelaskan pengertian Empirisme dan tokohnya
c.        Menjelaskan pengerteian Kritisisme dan tokohnya


BAB II
PEMBAHASAN

A.    RASIONALISME
Aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal lah yang ememnuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak.
Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti Tokoh-tokoh filsafat rasionalisme diantaranya :
1.       RENE DESCARTES (1596-1650)
Yang memberi alas kepada aliran ini ada RENE DESCARTES atau CARTESIUS (1596-1650) yang juga disebut ”Bapa Filsafat Modern”. Semula ia belajar pada sekolah Yesuit dan kemudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu alam.[[1]] Baru pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya. Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu Ilahi, yang isinya memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa bandingnya, serta harus disusun oleh satu orang sebagai satu bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jels dan terpilah (clear and distinctly), artinya, bahwa gagasan-gagasan/ide-ide seharusnya dapat dibedakan dengen presis dari gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Bukanlah maksud Descartes untuk mendirikan filsafatnya diatas asas yang logis abstrak, sebab ia memperhatikan sekali kepada realitas yang ada. Sedang asa yang pertama adalah suatu dalil yang eksistensial.
Ilmu pasti menjadi suatu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang maju. Sekalipun demikian ilmu pasti bukanlah metode yang sebenarnya bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sndiri adalah lebih umum. Segala gagasan yang kita kenal dari kebiasaan dan perwarisan atau dari kecenderungan, baru bernilai. Jikalau secara metodis diperkembangkan dari instuisi yang murni.
Kebenaran memang ada, dan kebenaran dapat dikenal, asal jiwa kita berusaha untuk membebaskan diri dari isinya yang semula. Meniadakan jalan dari luar ke dalam dan mulai lagi dengan jalan dari dalam ke luar. Seperti yang dikemukakan diatas yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah.[[2]]
Sebagai contoh : kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dall. Apa yang kita duga, kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita yang terdapati di dalam rasio atau akal. Descartes diharukan oleh ketidak pastian yang terdapat pada zaman itu. Pemikiran skolastik, seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana harus menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan Positif yang dihadapinya. Ternyata bahwa wibawa Aristoteles yang terdapat di dalam skolastik itu menghambat ilmu pengetahuan. Juga bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renaissance, yang sering saling bertentangan, tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu pengetahuan tadi. Pada waktu itu pemikiran orang masih terlalui dipengaruhi oleh khayalan-khayalan. Seolah-olah Descartes merasa terdorong untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan filsafati yang ada pada zamannya. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal pemikiran yang pasti itu menurut dia adalah melalui keragu-raguan.[[3]].
Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Aku berada karena aku berpikir. Jadi aku adalah suatu yang berpikir cogito (aku berpikir) adalah pasti, sebab cogito “jelas dan terpilah-pilah”.[[4]]
Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan terpilah-pilah adalah pengertian “Allah” sebagai tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau berada dimana-mana/ di dalam roh kita ada suatu pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya. Oleh karena kita sendiri adalah makhluk yang terbatas. Maka tidak mungkin bahwa pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya itu adalah hasil pemikiran kita sendiri.[[5]]
Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan yang tidak dapat mati. Jika memiliki pemikiran sebagai sifat asasinya. Tubuh memiliki sifat asasiya : keluasan.
Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupan, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah.
Yang disebut Modus (Jamak Modi) adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah
Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Jelas juga bahwa roh atau jiwa memiliki sebagai sifat asasinya : pemikiran (cogitation), dan memiliki sebagai modinya : pikiran-pikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang sifat asasi benda adalah keluasan.[[6]] Manusia bukanlah tujuan penciptaan dan juga bukan menjadi pusatnya. Umat manusia mewujudkan suatu organisme yang besar, sedang perorangan adalah bagian dari keseluruhan. Oleh karena itu jika perlu, perorangan harus mau berkorban demi kebaikan keseluruhan umat manusia.
Arti Descartes terletak di sini, bahwa ia telah memberi suatu arah yang pasti kepada pemikiran modern, yang menjadikan orang dapat mengerti aliran-aliran filsafat yang timbul kemudian daripada dia, yaitu idealisme dan positivisme.
2.      Gootfried Eihelm von Leibniz
Gootfried Eihelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan , dan sejarawan. Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam sesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi pada Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederahana dapat dirumuskan ”sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang dicintai-Nya. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad.[[7]] Setiap monad berbeda dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu.
3.      Blaise Pascal (1623-1662 M)
Orang ketiga yang kita bicarakan adalah Blaise Pascal (1623-1662). Yang adalah seorang ahli ilmu pasti, ahli ilmu alam dan seorang filsuf. Ia berusaha untuk membela agama kristen, yang mendapat serangan-serangan hebat karena pemikiran modern ini. Di satu pihak ia sama halnya dengan Descartes, mencintai ilmu pasti dan ilmu alam, akan tetapi di lain pihak ia menampakan perbedaan dengan Descartes. Perbedaannya terletak pada pengertian tentang sifat ilmu alam jauh melebihi Descartes. Ia menerima serta menerapkan metode induktif seperti yang dipakai di dalam ilmu alah. Ilmu pasti bukan suatu ilmu yang metodenya harus ditiru oleh seorang filsuf. Sebab seorang filsuf pertama-tama harus menyelami keadaan manusia yang konkrit dihadapi, orang demi orang, bahwa realitas itu pada hakekatnya adalah suatu rahasia.[[8]]
Filsafat pascal mewujudkan suatu dialog diantara manusia yang konkrit dengan Allah. Di dalam relitas hidup manusia terdapat tiga macam tertib, yaitu : tertib bendawi, tertib rohani, dan tertib kasih. Pengetahuan didapatkan dari pengamatan di dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gamabaran inderawi. Kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.
4.      Spinoza (1632-1677 M)
Didalam etikanya Spinoza mulai dengan menguraikn hal afek-afek atau perasaan-perasaan. Segala perasaan atau afek lainnya diturunkan dari ketiga perasaan. Pertama-tama yang diturunkan dari rasa gilang adalah kasih (amor), sedang yang dirutunkan dari rasa sedih adalah kebencian (odium). Lebih kemudian diturunkan lagi rasa kagum (admiratio) dari pada kasih dan penghinaan (conteniptus) dari pada kebencian.
Latar belakang pemikran Spinoza ini adalah pengertian aktivitas. Aktivitaslah yang dapat membawanya kepada kesempurnaan. Tujuan pengenalan segala perasaan tadi adalah untuk menguasainya. Barang siapa mengenal akan segala perasannya, ia akan melihat gejala-gejala, perasaan-perasaan itu dalam hubungannya sehingga ia juga akan menguasainya. Di dalam perealisasian diri dalam kasih yang akali inilah manusia berusaha menuju kepada Allah (amor Dei intellectualis).
Ajaran Spinoza di bidang metafisika menunjukkan kepada suatu ajaran Monistis yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan, mewujudkan suatu substansi tunggal. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal memiliki suatu subyek tunggal dan suatu predikat tunggal, sehingga harus disimpulkan, bahwa segala hubungan dan kejamakan adalah semu.

B.     EMPIRISME
Empirisme adalah salah satu aliran dalam filasuf yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan  mengecilkah peranan akal. Istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani, Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, Empirisme adalah lawan Rasionalisme.[[9]]
Filsafat Empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran positivisme logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan tetapi teori makna dari empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran. Materi sebagai gelombang pengalaman kesadaran. Materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori yang kedua yaitu teori pengetahuan. Menurut orang rasionalis ada bebreapa kebenaran umum. Seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolah pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional, semua kebenaran yang disebut tdai adalah kebenaran yang diperoleh lewat obeservasi jadi ia kebenaran a poseriori.
Diantara tokoh dan pengikut aliran Empirisme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Lock dan lainnya.
1.       Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuah inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya : Kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Itu tidak benar, haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.

2.       Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang[[10]] yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan interlektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.
Pengikut aliran Empirisme yang lain diantaranya : John Locke (1632-1704 M), David Hume (1711-1776 M), Georger Berkeley (1665 – 1753 M).

3.       John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah filosuf Inggris yang banyak mempelajarai agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descaretes. Ia juga menolak metoda deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
Buku Locke, Essay Concerming Human Understanding (1689 M), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea untuk konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate ide; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and Distinict Idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada. Inilah argumennya.
a.          Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia,[[11]] dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli
b.          Persetujuan uum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru saya jaidkan alasan untuk mengatakan ia tidak ada
c.          Persetujuan umum membuktinkan adanya innate idea
d.         Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah meungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada
e.          Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapnya substansi ialah pengertian tentang obyek sebagai idea tentang obyek itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan bahwa idea itu adalah substansi obyek, substansi kita tidak tahu.
Persoalan substansi agaknya adalah persoalan metafisika sepanjang masa; Berkeley dan Hume masih juga membicarakannya.

4.       David Hume (1711-1776 M)
Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic, skeptic tingkat tertinggi. Ia dibicarakan di sini sebagai seorang skeptis, dan terutama sebagai seorang empiris. Menurut Bertrans Russel, yang tidak dapat diragukan lagi pada Hume ialah seorang skeptis.
Buku Hume, Treatise of Human Nature (1739 M), ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatakala ia berumur dua puluh tahunan bagian awal. Buku itu tidak banyak menarik perhatian orang, karenanya[[12]] Hume pindah ke subyek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia menulis buku yang memang terkenal. An Enquiry Concerning Human Understanding. Baik buku Treatise maupun buku Enquiry kedua-duanya menggunakan metoda Empirisme, sama dengan John Locke. Sementara Locke hanya sampai pada idea yang kabur yang tidak jelas berbasi pada sensasi (khususnya tentang substansi dan Tuhan), Hume lebih kejam.
5.       Herbert Spencer (1820-1903 M)
Filsafat Herbet Spencer berpusat pada teori evolusi.sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859 M), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Secara prinsip pengenalan kita hanya menyangkit relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the great unknowable).
Akhirnya Spencer mengatakan : idea-idea keilmuan pada akhirnya adalah penyajian realistis yang tidak dapat dipahami”. Inilah yang dimaksud dengan the great unknowable, teka-teki besar.[[13]]

C.    KRITISISME
Pendirian aliran rasionalisme dan Emperisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengalan/pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Imanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang krisis). Untuk itulah ia menulis 3 buku yang berjudul :
Ø  Kritik der Rainen Vernuft ( kritik atas rasio murni)
Ø  Kritik der Urteilskraft ( kritik atas dasar pertimbangan)
Ø  Kritik rasio praktis
Menurut Kant dalam pengenalan inderawi selalu sudah ada 2 bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subyek yang mengindera, tetapi realitas (das ding an sich = benda dalam dirinya) tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luas (aposteriori) dengan bentuk ruang dan waktu (apriori).


BAB 1II
PENUTUP

KESIMPULAN
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.

Ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:
 • Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
 • Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau
 hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.


DAFTAR PUSTAKA


Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Baru 2. Yogyakarta : Kanisius
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat Umum. Bandung : Pustaka Setia


[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius, 1980. hal.18
[2] Ibid hal.19
[3] Ibid hal.20
[4] Ibid hal 21
[5] Ibid hal 22
[6] Ibid hal 23
[7] Ahmad Syadali, Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1997, hal 109
[8] Opcit hal 25
[9] Opcit hal.116
[10] Opcit hal.117
[11] Opcit hal 118
[12] Opcit hal 120
[13] Opcit hal. 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar